Pengikut Sunnah Nabi dan Para Sahabat dalam Cara Berpikir dan Pola Perubahan Sosial
Yang Diusung
Pemahaman Dasar
Semenjak sabda Nabi yang mengatakan bahwa agama Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang benar diantara kesemua golongan tersebut, berbagai aliran dalam agama islam dari zaman dulu sampai sekarang akhirnya mengklaim bahwa diri mereka masing-masing merupakan satu-satunya golongan yang benar dan sesuai dengan ajaran Nabi yang dikenal dengan ASWAJA.
Secara umum yang paling banyak dikenal orang pemaknaan akan Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari
dalam Qanun Asasi . Yaitu : Dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali. Terbuka juga jika terdapat pemaknaan lain dari ASWAJA selain dari yang diatas, (barangkali ada yang berbeda).PMII LOGO |
Akan tetapi apapun pemaknaan terhadap ASWAJA selama ini, lebih-lebih seperti diatas, semua itu kurang memadai untuk dijadikan tempat berpijak dalam sebuah pergerakan. Sebab, pemahaman yang demikian lebih mengarah pada pemahaman yang kaku dan kurang bisa menyesuaikan terhadap kondisi sosial yang berkembang. Dimana pemahamannya tersendat pada sebuah pemikiran tokoh (sekalipun terpandang dan terhormat), lingkungan, tempat, faktor politik, dan berbagai kondisi sosial saat itu yang jauh berbeda dengan masa sekarang bahkan dimasa yang akan datang. Padahal sebuah pergerakan membutuhkan pijakan yang syarat akan pemaknaan Aswaja yang fleksibel, tidak kaku, dan selalu ada ruang untuk ditafsiri ulang untuk disesuaikan lagi dengan kondisi sosial yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, PMII memaknai Aswaja sebagai;
1. Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
2. Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam materi pendalaman tentang ASWAJA
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir (manhajul fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul )
Nilai-Nilai Aswaja
- Nilai-nilai Kemoderatan (Tawassuth)
Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian yang teguh dalam menghadapi posisi dilematis antara yang liberal dan konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka kurang benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang menjadi jantung pijakan dari PMII itu sendiri. Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola berpikir, tidak terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri sendiri).
Bersikap tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta dan terlalu liberal (sehingga menomorduakan al-quran dan sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal untuk berfikir dan menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan kondisi.
Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun pemahamannya tidak sekadar bersandar kepada tradisi,juga tidak kepada rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakikat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah ataupun sebaliknya. Tasawuf yang tawassuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah.
- Nilai-nilai Toleransi (Tasamuh)
Tasamuh adalah toleran, Sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Biarkan semuanya partikular, tidak harus seragam dengan kita. Arah dari nilai toleransi ini adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, baik itu dalam beragama, budaya, keyakinan, dan setiap dimensi kehidupan yang harusnya saling berkomplementer (saling melengkapi). Sebagaimana konsep binneka tunggal ika (berbeda-beda tapi tetap satu) dan ayat Al-Quran yang berbunyi “lakum dinukum wal-yadin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang dengan perbedaan ini kita mendapat rahmat, hidup kita lebih variatif.
Dalam arus filsafat yang saat ini berkembang, saatnya menyapu (sweeping) dan meruntuhkan metafisika kehadiran (konsep tunggal yang kebenarannya adalah satu). Sebuah konsep yang memaksakan kebenarannya terhadap yang lain, tanpa menerima perbedaan dan menolak akan kebenaran yang lain.
- Nilai-nilai Keseimbangan (Tawazun)
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan sistem ekonomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masyarakat. Fungsi Negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran modal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan mengontrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah tempat pendistribusian produk yang memposisikan konsumen dan produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat (khususnya konsumen) di satu sisi adalah menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif, yang di dalamnya tidak ada monopoli; dan di sisi lain mengontrol kerja negara dan pasar.
- Nilai-nilai Keadilan (Ta’adul )
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Dengan adanya keseimbangan, toleran, dan moderat maka akan mengarah pada sebuah nilai keadilan yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.Sebenarnya keempat nilai inilah yang menjadi metode berpikir dan pola perubahan sosial dari Nabi dan para sahabatnya.
7 komentar:
salam pergerakan
alahamdulillah
terimakasih. sangat membantu sekali. semoga berkah
mantap
Toopp...👍
Siappp
Pelontaran metode dengan realitas bagus, setiap pembahasan juga sistematis, terimakasih
Sangat membatu sekali, semoga berkah ilmunya
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya sahabat/i